Nasib Iran di Tangan Trump: Perang atau Damai?

Serangkaian cuitan Presiden Trump pada Selasa lalu mengejutkan banyak pihak, terutama karena bertentangan dengan pernyataan resmi pejabat AS lainnya, termasuk Menteri Luar Negeri, yang menegaskan tidak adanya keterlibatan AS dalam serangan Israel ke Iran. Trump, melalui media sosial, menyatakan klaim yang mengejutkan: AS memiliki kendali penuh atas langit Iran, mengunggulkan teknologi militer AS dibandingkan Iran, dan bahkan mengetahui lokasi persembunyian "Pemimpin Tertinggi" Iran, menyebutnya target yang mudah, namun memilih untuk tidak mengambil tindakan—setidaknya untuk saat ini. Pesan terakhirnya adalah seruan singkat: "MENYERAH TANPA SYARAT!" Gaya bahasa dan klaim yang disampaikan menimbulkan kebingungan mengenai strategi sebenarnya Trump.
Pertanyaan besarnya adalah: apa langkah selanjutnya Trump? Serangan Israel sebelumnya telah direspon Trump dengan ancaman tindakan yang lebih brutal. Tujuan akhirnya, sama seperti Netanyahu, adalah mencegah Iran memiliki senjata nuklir. Namun, pendekatan Trump tampak berfluktuasi antara ancaman kekerasan dan dorongan diplomasi. Ia bahkan pernah menyatakan bahwa serangan Israel bisa membantu atau justru menggagalkan kesepakatan damai. Beberapa pendukungnya menyebut ini sebagai strategi "orang gila"—taktik negosiasi yang menciptakan ketidakpastian untuk memaksa kepatuhan lawan, strategi yang pernah dikaitkan dengan Presiden Richard Nixon.
Beberapa penasihat Trump mendukung pendekatan "orang gila" ini, beranggapan ancaman akan efektif karena Iran dianggap tidak serius bernegosiasi, meskipun pernah menandatangani kesepakatan nuklir pada 2015 (yang kemudian dibatalkan Trump). Israel, di sisi lain, telah mendesak AS untuk mengambil jalur militer, dan mungkin telah mendorong keterlibatan AS secara lebih aktif. Kemampuan AS untuk menghancurkan fasilitas nuklir Iran yang terkubur jauh di bawah tanah—sesuatu yang tidak mampu dilakukan Israel—menjadi faktor kunci. Mantan kepala MI6, Sir John Sawers, bahkan berspekulasi bahwa tujuan Israel adalah untuk "membawa Amerika ke dalam konflik".
Washington kini dihadapkan pada dilema: ikut campur atau mencari jalan diplomatik? Opsi diplomasi terlihat sulit, mengingat pembicaraan di Oman telah dibatalkan. Walaupun Trump menegaskan tidak adanya keterlibatan AS dalam serangan Israel, AS telah memberikan bantuan pertahanan kepada Israel, baik melalui kapal perang maupun sistem pertahanan udara. Berbagai penasihat, termasuk di Dewan Keamanan Nasional, kemungkinan akan memperingatkan Trump untuk tidak meningkatkan eskalasi konflik. Bahkan, ada laporan bahwa Trump telah memperingatkan Netanyahu agar tidak membunuh Ayatollah Khamenei.
Situasi ini juga dipengaruhi oleh politik domestik. Sebagian besar Partai Republik mendukung Israel dan serangannya, namun beberapa tokoh penting dalam gerakan "Make America Great Again" (MAGA) menentang keterlibatan AS, mempertanyakan risiko perang Timur Tengah dan memprioritaskan kebijakan "America First". Tokoh-tokoh seperti Tucker Carlson dan Marjorie Taylor Greene secara terbuka mengkritik keterlibatan AS dan mendesak Trump untuk mengutamakan kepentingan Amerika. Tekanan ini tampak memengaruhi pernyataan Trump akhir pekan lalu, di mana ia menyerukan diakhirinya perang dan menegaskan bahwa AS tidak terlibat dalam serangan terhadap Iran.
Ancaman Iran untuk menyerang pangkalan AS jika AS membantu Israel menambah kompleksitas situasi. Kemungkinan korban jiwa warga AS akan semakin memperkuat argumen isolasionis dari kalangan MAGA, mendorong Trump untuk menarik diri dari konflik dan mendesak Netanyahu untuk mengakhiri serangan.
0 Response to "Nasib Iran di Tangan Trump: Perang atau Damai? "
Posting Komentar